Rabu, 26 Maret 2008


Upaya Pengembangan Iklim Usaha dalam Mendorong UKM di Masa Datang

Prospek bisnis UKM dalam era perdagangan bebas dan otonomi daerah sangat tergantung pada upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengembangkan bisnis UKM. Salah satu upaya kunci yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengembangkan iklim usaha yang kondusif bagi UKM. Untuk mencapai iklim usaha yang kondusif ini, diperlukan penciptaan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi UKM. Kebijakan yang kondusif dimaksud dapat diartikan sebagai lingkungan kebijakan yang transparan dan tidak membebani UKM secara finansial bicara berlebihan. Ini berarti berbagai campur tangan pemerintah yang berlebihan, baik pada tingkat pusat maupun daerah harus dihapuskan, khususnya penghapusan berbagai peraturan dan persyaratan administratif yang rumit dan menghambat kegiatan UKM.
Suatu faktor penting di beberapa daerah yang sangat mengurangi daya saing UKM adalah pungutan liar (pungli) atau sumbangan wajib yang dikenakan pejabat aparat pemerintah. Pungli liar ini tentu saja akan meningkatkan biaya operasi UKM sehingga mengurangi daya saing mereka. Dengan demikian, pungutan liar maupun beban fiskal yang memberatkan perkembangan UKM di daerah harus dihapuskan.
Selain penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif, program-program pengembangan UKM yang diarahkan pada supply driven strategy sebaiknya mulai ditinggalkan, sebagai pengganti dari arah program ini yakni pengembangan program UKM yang berorientasi pasaryang didasarkan atas pertimbangan efisiensi dan kebutuhan riel UKM (market oriented, demand driven programs). Fokus dari program ini yakni pertumbuhan UKM yang efisien ditentukan oleh pertumbuhan produktivitas UKM yang berkelanjutan, dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan UKM yang berkelanjutan. Secara lebih spesisfik The Asia Foundation (2000 dalam Thee Kian Wie, 2001) membagi fokus pengembangan UKM baru yang berorientasi pasar tersebut dalam empat unsur pokok, yaitu: (1) pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM; (2) pengembangan lembaga-lembaga finansial yang bisa memberikan akses kredit yang lebih mudah kepada U KM atas dasar transparansi; (3) pelayanan jasa-jasa pengembangan bisnis non-finansial kepada UKM yang lebih efektif; dan (4) pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri.
Untuk pengembangan lembaga-lembaga finansial yang memberikan akses kredit kepada UKM atas dasar terbuka dan transparan diperlukan pengembangan lembaga-lembaga finansial yang sehat di daerah. Berbeda dengan kredit-kredit yang wajib diberikan oleh bank-bank komersial kepada UKM dalam rangka skim KUK atau skim kredit likuiditas yang disalurkan kepada UKM oleh BRI (Bank Rakyat Indonesia) dan BTN (Bank Tabungan Negara), maka dalam skim baru ini lembaga- lembaga finansial wajib memudahkan akses kredit kepada U KM atas dasar terbuka dan transparan. Pengalaman dengan berbagai skim kredit untuk UKM telah menunjukkan, bahwa akses yang mudah ke berbagai sumber pendanaan jauh lebih efektif dalam membantu operasi UKM daripada suku bunga kredit.
Dalam hubungan ini, maka peran pemerintah daerah adalah menyediakan kerangka perundang-undangan dan peraturan- peraturan baru yang memungkinkan mekanisme pasar dapat berfungsi dengan baik. Dalam hubungan ini diperlukan suatu standar pengawasan dan standar akutansi baru untuk bank-bank dagang (commercials Bank) dan
bank-bank perkreditan (BPR) agar mereka tidak melakukan diskriminasi yang tidak perlu dalam pemberian kredit kepada UKM. Dalam pemberian kredit kepada UKM, juga diperlukan suatu mekanisme transparansi berupa pemberian laporan bank-bank dagang yang benar tentang kredit yang telah diberikan kepada UKM (Timnberg, 2000 dalam Thee Kian Wie, 2001). Peraturan-peraturan ini tentu saja harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Selanjutnya, upaya pengembangan jasa- jasa non-finansial melalui program bantuan tehnis (technical assistance programs) yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah atau pejabat pemerintah, pada saat ini dan mendatang harus segera diserahkan pada pihak-pihak yang mempunyai kompetensi tinggi di bidangnya. Hal ini dimaksudkan agar bantuan tehnis yang diberikan kepada UKM dapat sesuai dengan kebutuhan riil yang diharapkan oleh pasar (market oriented dan demand driven programs). Dengan demikian tenaga-tenaga penyuluh UKM yang bertugas membantu UKM adalah mereka yang benar- benar terampil dan berwenang serta memahami kebutuhan UKM. Dalam hubungan ini, maka sektor swasta perlu menjadi alternatif dalam pelaksanaan program ini. Selain itu, peran instansi-instansi yang terlalu berlebihan dan tumpang tindih dalam program jasa pengembangan bisnis UKM sebaiknya dikurangi secara bertahap, terutama program yang ternyata kurang efektif dan efisien, sehingga dapat diganti program pengembangan bisnis UKM yang dilaksanakan pihak swasta.
Pembentukan aliansi strategis antara UKM dengan usaha-usaha aging merupakan mekanisme yang paling penting dan efektif untuk alih informasi bisnis, teknologi, kemampuan manajerial serta organisatoris, serta akses ke pasar ekspor bagi UKM daripada bantuan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Aliansi strategis ini berbeda dengan program kemitraan dan keterkaitan Bapak angkat dan mitra usaha yang kita kenai selama ini. Ini karena kemitraan dan keterkaitan cenderung didasarkan atas dorongan, kadang-kadang paksaan pemerintah, dan bukan atas kehendak kedua belah pihak, sehingga pengalaman menujukkan program ini tidak efektif. Dalam aliansi ini, maka UKM dan usaha lain, baik usaha besar atau UKM lainnya, ataupun usaha aging atau usaha domestik melakukan kerjasama yang didasarkan atas kemauan dan kepentingan bersama. Dengan demikian dalam aliansi ini tidak terjadi paksaan yang tidak perlu. Keberhasilan model aliansi strategis ini telah pula dibuktikan manfaatnya bagi pengembangan UKM di Indonesia.

Tidak ada komentar:

^_^

^_^